TINJAUAN MOLEKULER : OBAT ANTI TB INDUCER HEPATOTOKSIK

Hati merupakan organ yang paling penting dalam toksisitas obat dengan dua alasan, yang pertama  secara fungsional, letaknya diantara tempat absorpsi dan sirkulasi sistemik dan merupakan tempat utama dalam metabolisme dan eliminasi senyawa asing,  yang kedua adalah karena hati merupakan organ target dari obat/ senyawa yang toksik. Kerusakan hati yang diinduksi oleh obat (DILI), menimbulkan masalah klinis, DILI telah menjadi penyebab utama pada kerusakan hati akut dan tranplantasi hati di negara-negara barat. Hepatotoksik intrinsik yang disebabkan oleh overdosis acetaminophen merupakan kasus utama dari DILI di amerika serikat dan inggris. Sebaliknya, hepatotoksik yang disebabkan oleh kebanyakan obat lainnya adalah idiosinkrasi, dengan kata lain bahwa kejadian DILI sangat kecil pada pasien yang diberikan obat pada dosis terapinya dan resiko dari kerusakan akut pada hati yang melibatkan idiosinkrasi suatu hepatotoksin bisanya kurang dari 1 per 10000 pasien. Namun lebih dari 1000 obat dan produk herbal  menghasilkan efek idiosinkarsi hepatotoksik dan ternyata idiosinkrasi menyumbang 10 % dalam kasus kerusakan akut pada hati. DILI juga merupakan tantangan terbesar bagi pemerintah dan industri, karena merupakan penyebab utama dari penghentian uji preklinis dan klinis bagi sejumlah obat dan merupakan suatu adverse reaction yang umum terjadi yang mengakibatkan obat tersebut ditolak untuk dipasarkan. Namun dalam banyak kasus, obat diketahui memiliki efek hepatotoksik setelah beredar di pasaran, dan DILI juga lah yang membuat obat tersebut ditarik dari pasaran atau diharuskan untuk memberi label tentang adanya kemungkinan DILI.

Salah satu yang menarik adalah DILI dapat mengikuti semua bentuk penyakit hati baik akut maupun kronis. Aspek lain yang menarik adalah terjadinya idiosinkrasi pada DILI yang tidak dapat diprediksi dan banyaknya senyawa kimia bersifat hepatotoksik yang menyebabkan DILI idiosinkrasi. Aspek tersebut mengindikasikan bahwa terdapat berbagai jenis struktur dan tipe sel target, banyaknya mekanisme yang terlibat dan pentingnya faktor resiko pasien. Selama beberapa tahun terakhir berkembang berbagai persepsi mengenai  keseluruhan proses maupun urutan proses yang terlibat dalam kerusakan sel hati secara umum dan DILI secara khusus, yang berdampak pada dilakukannya penelitian yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya hepatotoksik. Padahal sebelumnya yang menjadi fokus penelitian adalah bagaimana suatu obat tertentu dapat menyebabkan kerusakan awal pada sel hati.DILI umumnya diklasifikasikan ke dalam hepatotoksik intrinsik vs idiosinkrasi, tapi kemudian  berubah menjadi alergi dan non alergi. Hepatotoksik intrinsik merupakan dose-dependent dan diprediksi hanya terjadi pada dosis diatas dosis terapi, sedangkan hepatotoksik idiosinkrasi terjadi tanpa adanya ketergantungan akan dosis dan tidak dapat diprediksi pada kisaran dosis mana hal ini terjadi. Terjadinya reaksi alergi akibat hepatotoksik idiosinkrasi dikarakterisasi melalui munculnya gejala tertentu dan adanya reaksi imun seperti demam, ruam kulit, eosinofilia dan terbentuknya suatu antibodi. Gejala klinis lainnya dibedakan antara hepatocellular, cholestatic atau mixed liver enzyme pattern, kriteria histologis, onset kronis vs akut, dan tingkat keparahannya. Pembagian kelompok ini sangat berguna dalam praktek klinis karena akan menjabarkan bagaimana ciri klinis dari DILI untuk tiap-tiap obat, dan akan memberikan petunjuk mengenai mekanisme yang terlibat dalam DILI oleh obat-obat tersebut. Namun demikian, kita harus menyadari bahwa pembagian ini hanya bersifat deskriptif dan berdasarkan kriteria klinis maupun histopatologi. Pembagian kelompok ini akan juga memberian informasi yang salah apabila digabung dengan konsep mekanis yang ada dan mungkin memang akan menjadi dasar bagi paradigma klasik yang sangat berbeda dengan konsep mekanisme hepatotoksik terkini. Sebagai contoh, kesalahan konsep yakni ada senyawa tertentu yang  jelas termasuk baik dalam kelompok hepaotoksik idiosinkrasi maupun intrinsik, dan dosis atau kerusakan sel yang langsung tidak berperan penting pada terjadinya hepatotoksik idiosinkrasi. Akan tetapi, secara tak terduga DILI dapat terjadi pada dosis yang rendah  dan sering pada senyawa transaminase. Isoniazid merupakan salah satu contoh hepatotoksin yang mengakibatkan hepatotoksik intrinsik ringan dan juga idiosinkrasi yang parah  pada DILI.

Hambatan utama pada pengelompokan berdasarkan mekanismenya adalah bahwa DILI tidak bisa hanya dikarakterisasi dengan hanya kerusakan awal tetapi juga melibatkan banyak mekanisme, sistem regulasi dan faktor resik dengan interaksi yang sangat kompleks, hal ini juga menjelaskan bagaimana tidak banyak terdapat model penelitian untuk mengetahui mekanisme bagi kebanyakan hepatotoksin,potensi  sebuah obat menjadi hepatotoksin sering kali tidak diketahui sebelum dia dipasarkan, dan kontribusi yang pasti di berbagai proses yang mengakibatkan DILI pada manusia juga tidak dapat diketahui, dan pengobatan yang tepat untuk DILI tidak tersedia kecuali untuk hepatotoksik yang diinduksi oleh APAP. Penyelesaian yang mungkin tepat untuk problem ini adalah sebuah model penelitian yang umum yang merupakan gabungan dari prinsip mekanisme awal dari toxic liver cell injury dengan pengetahuan terkini mengenai regulasi komplek dari kerusakan vs proses proteksi yang terlibat dalam proses rusaknya sel hati.

Tiga tahapan umum dalam mekanisme terjadinya Drug-Induced Liver Injury (DILI)

1. Mekanisme awal toksisitas : Direct cell stress, Direct mitochondrial impairment, dan reaksi imun spesifik.

Baik metabolit obat ataupun obat induk dapat menyebabkan direct cell stress, dan mengganggu fungsi mitokondria serta menstimulaasi suatu respon imun. Enzim pemetabolisme obat yang sangat berperan dalam pembentukan suatu metabolit reaktif yang toksik adalah kelompok sitokrom P450 (CYP450), yang berperan pada metabolisme obat fase 1. Akan tetapi metabolisme fase II juga dapat menghasilkan metabolit yang bersifat hepatotoksik seperti asil glukoronida yang telah diketahui menyebabkan DILI.
Metabolit reaktif dapat menyebabkan stress pada sel melalui  banyak mekanisme termasuk diantaranya deplesi dari glutathione (GSH) atau berikatan dengan suatu enzim, lemak, asam nukleat, dan stuktur sel lain. Selanjutnya metabolit reaktif atau parent drug mungkin dapat spesifik menghambat fungsi hepar tertentu seperti apical (canalicular) bile salt efflux pump (BSEP ABCB 11 gene) yang dimana akan menimbulkan penumpukan substratnya di dalam sel yang menyebabkan kerusakan sekunder pada sel hepar.

Pada tahap penyerangan mitokondria, maka metabolit reaktif ataupun parent drug melepaskan atau menghambat jalur respiratory dari mitokondria yang menyebabkan deplesi ATP sehingga meningkatkan jumlah reactive oxygen species (ROS), menghambat β-oksidasi yang mengarah pada steatosis, merusak DNA mitokondria atau menyisip di proses replikasinya, atau secara langsung menyebabkan mitochondria permeability transition (MPT) yaitu dengan membuat lubang di “MPT pore” yang letaknya ada dibagian dalam membran. Inilah yang mungkin merupakan awal terjadinya kerusakan yang melibatkan penghambatan transport elektron mitokondria sampai tahap kritis dan peningkatan aktivasi ROS dan JNK di sitosol diatas batas yang ditentukan hingga menimbulkan kerusakan hepar. Inhibisi awal dari transport elektron mitokondrial tidak dapat ditentukan dari nilai ALT yang tinggi, sehingga dibutuhkan suatu marker yang bisa mendeteksi kerusakan mitokondrial sejak dini.

Respon imun spesifik yang melibatkan sel T sitotoksik yang bersamaan dengan lepasnya sitokin inflamasi yang ditimbulkan oleh metabolit reaktif yang berikatan secara kovalen dengan protein yang kemudian dikenali sebagai suatu antigen baru (pembentukan hapten).  Selanjutnya munculnya major histocompatibility complex (MHC) –dependent pada antigen presenting cells akan mengaktifkan proses terbentuknya suatu antibodi against haptens atau autoantibodies against cell structure seperti  enzim CYP450.

Dalam beberapa kasus kerusakan awal juga menargetkan nonparenchymal liver cells. Contohnya adalah adanya toksisitas yang  terhadap sel epitel empedu oleh metabolit flucloxacillin atau aktivasi langsung sel steallate oleh methotrexate yang menyebabkan fibrosis. Hepatotoksin yang berbeda memiliki pola yang khusus dalam mekanisme kerusakan awalnya. Namun satu yang harus disadari bahwa satu obat bisa saja melalui banyak mekanisme yang terjadi bersamaan, dan bahwa banyak obat yang masih belum diketahui mekanismenya seperti apa dalam menimbulkan kerusakan hepar. Mekanisme kerusakan awal yang spesifik ini juga bisa disebut “upstream events” yang pada tahap selanjutnya akan berlanjut ke “downstream events” yang tidak spesifik yang melibatkan innate immune system yang tugasnya menyeimbangkan respon pro dan anti inflamasi yang menentukan proses lanjutnya untuk kerusakan yang makin parah ataukah pemulihan.

2.    Mekanisme kematian sel diperantarai oleh reseptor yang menyebabkan  perubahan permeabilitas mitokondria

Munculnya cell stress dan reaksi imun spesifik menyebabkan MPT. Jika mekanisme awal  ini tidak terjadi secara langsung pada target dan merusak fungsi mitokondria, maka mekanisme ini terjadi melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur langsung yang diinisiasi oleh cell stress yang parah (intrinsic pathway) atau melalui cara tidak langsung dengan death receptor amplified yang dipicu oleh cell stress ringan  dan/atau reaksi ion imun spesifik (extrinsic pathway).

Gambar 1. Mekanisme terjadinya apoptosis

Pada jalur intriksik, stress intraselular yang parah mengaktivasi jalur reticulum endoplasmic, permeabilitas lisosom, atau c-jun–N-terminal kinase (JNK) yang kemudian mengaktivasi pro apoptotic (Bax, bak, bad) dan menghambat anti apoptotik (bel-2, belxL) yang merupakan anggota protein  bel2, kemudian mengaktivasi MPT. Sedangkan jalur extrinsik, kerusakan awal yang ringan  dapat terjadi jika response inflmasi karena mild stress dan faktor tambahan memodulasi system imun bawaan ,dimana sinyal dari sitokin (IL-12)  yang memicu atau mencegah (IL4, IL10, IL13, MCP-1) luka biasanya seimbang. Sebagai konsekuensinya,  sel liver yang sensitif menjadi lebih rentan terhadap efek letal dari tumor necrosis  factor alpha (TNFα), fas lingand (fasL), dan interferon gamma (IFγ). Hal ini sangat penting jika memikirkan bahwa hati sebagai organ utama dalam detoksifikasi secara konstan terpapar hingga membuat selnya menjadi stress yang akan mengaktifkan TNFα dan fasL. Jika awalnya sebuah reaksi imun spesifik, maka MHC-dependent antigen yang terbentuk akan merelease TNFalfa dan FasL dari Kupffer cell (hepatic macrofag) dan sel T sitotoksik. Sesuai dengan hipotesis bagi penyakit autoimun, haptenisasi sendiri tidak cukup untuk memicu terjadinya frank allergic hepatotoxicity, karena membutuhkan stimulasi tambahan yang disebut “danger-signal”. Jika metabolit reaktif  menyebabkan stress sel ringan atau munculnya inflamasi, bersamaan dengan lepasnya sitokin akan dibentuk sebuah “danger signal” yang dapat meningkatkan keberadaan MHCII-dependent antigen, membuat hepatosit lebih mudah luka, sehingga menyebabkan autoimmune hepatotoxicity. Terlepas dari bagaimana extrinsic pathway dimulai, pada akhirnya TNF α dan FasL berikatan pada intracellular death receptors, serta TNF dan Fas reseptor-associated death domain proteins (TRADD/FADD) akan mengaktivasi inisiator caspase 8. Aktivasi kompleks death-receptor juga disebut sebagai death-inducing signaling complex (DISC). Walaupun caspase 8 dapat memulai apoptosis melalui aktivasi langsung dari efektor caspase 3, 6, dan 7, namun aktivasi langsung ini tampak terlalu lemah dalam hepatosit untuk memperantarai apoptosis. Olehkarenanya diperlukan sebuah mekanisme amplifikasi: caspase 8 dapat mengaktivasi protein pro-apoptitik Bcl-2 (seperti Bid), serta signaling ceramides.

3.    Apoptosis dan nekrosis

MPT menyebabkan influx proton besar-besaran melalui membrane dalam mitokondria, yang menghentikan sintesis ATP oleh mitokondria. Menipisnya ATP mitokondria yang disebabkan oleh MPT menyebabkan terjadinya pelebaran matriks dan permeabilisasi membran luar mitokondria serta pecahnya membran dengan melepaskan sitokrom C dan protein mitokondria pro-apoptotik lainnya dari ruang intermembran menuju ke sitosol.

Pada apoptosis, sitokrom C kemudian berikatan pada sebuah cytoplasmic scaffold (apaf-1) dan pro-caspase 9, membentuk sebuah kompleks yang disebut apoptosome, yang mengaktivasi signaling procaspase 9. Proses ini membutuhkan ATP dan hanya dapat dimulai bila MPT tidak muncul dengan cepat dan bersama-sama di seluruh mitokondria. Hanya jika beberapa mitokondria tertinggal utuh dan melanjutkan sintesis ATP, aktivasi pro-caspase 9 dan memungkinkan protein mitokondrial pro-apoptotik lainnya mengaktivasi caspase 3. Kemudian caspase 3 akan memecah protein sel spesifik dan lebih jauh lagi akan mengaktivasi pro-caspase 6, 7, dan 2, yang memiliki protein targetnya masing-masing.
Nekrosis, sebaliknya, berkembang jika luka awal yang terjadi sangat parah sehingga MPT secara cepat terbentuk di seluruh mitokondria, atau jika mekanisme lain menyebabkan menipisnya ATP mitokondria secara cepat dan parah, menghalangi jalur apoptosis. Ini sangat khas untuk hepatotoksin yang secara langsung menyebabkan inisiasi stress sel yang sangat besar. Bagaimanapun, ketiadaan ATP juga aktivasi jalur ekstrinsik akan menghantarkan kepada kematian sel nekrotik. Kesimpulannya, mitokondria merupakan tokoh penting dalam kematian dan kehidupan sel dalam hepatotoksisitas: mereka dapat menjadi target dari inisiasi toksisitas langsung, MPT memegang peran penting dalam signaling dari jalur ekstrinsik dan intrinsik.

Obat Anti TB yang telah diketahui berdasarkan penelitian terkini mempunyai kemungkinan sebagai DILI adalah Rifampisin dan INH berikut tinjauan molekuler yang memungkinkan untuk terjadinya hepatotoksik pada penggunaan obat anti TB.

Rifampisin memiliki jalur utama dengan deasetilasi menjadi deasetil rifampicin sehingga terpisah secara hidrolisis menghasilkan 3-formil rifampisin. Rifampisin dapat menyebabkan disfungsi hepatoseluler di awal pengobatan, dimana dapat terjadi tanpa penghentian obat ini. Mekanisme rifampisin menginduksi hepatotoksik belum diketahui dan tidak dapat diprediksi. Sampai sekarang belum diketahui adanya metabolit toksik reaktif dari rifampisin (Tostmann, A., et.al., 2007).
Rifampisin adalah induser kuat sistem CYP450 pada hati dan usus, yang dapat meningkatkan metabolisme dari senyawa lain. Penggunaan kombinasi rifampisin dan INH telah dihubungkan dengan peningkatan risiko hepatotoksik. Rifampisin menginduksi hidrolasi INH, sehingga meningkatkan produksi hydrazine ketika dikombinasikan dengan INH (terutama pada asetilator lambat) yang mana dapat lebih meningkatkan toksisitas dari kombinasi tersebut. Rifampisin juga berinteraksi dengan obat antiretrovirus (Tostmann, A., et.al., 2007).

Rifampisin merupakan aktivator PXR (pregnane X receptor). PXR merupakan mediator seluler yang merespon xenobiotik. PXR mediator fungsi CYP3A4, merupakan tempat binding heterodimer dengan retinoid x reseptor. CYP3A4 merupakan enzim pemetabolisme pada hati. Dengan demikian Rifampisin dapat menginduksi peningkatan ekspresi CYP3A4.

Gambar 3. Mekanisme aktivasi dan fungsi PXR

Aktivasi PXR tergantung ligan; pengikatan ligan, menyebabkan PXR membentuk heterodimer dengan reseptor X retinoid (RXR) yang terikat pada PXR respon elements, yang terletak di ujung 5′ gen target PXR, sebagai hasil aktivasi transkripsi mereka. PXR terutama terkait dengan respon seluler xenobiotik, termasuk induksi enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi dan konjugasi, serta induksi transporter xenobiotik dan endobiotik. Enzim metabolik dan transporter yang diinduksi oleh aktivasi PXR dapat mempengaruhi farmakokinetik dari xenobiotik maupun endobiotik (Ma, et.al., 2008).

Hasil elusidasi struktur 3 dimensi menunjukkan bahwa PXR-ligand binding domain memiliki celah ikatan yang besar (lebar), sehingga memungkinkannya untuk berinteraksi dengan banyak senyawa hidrofobik. Banyak ligan PXR yang telah berhasil diidentifikasi, diantaranya adalah antibiotik rifampisin, clotrimazole, dan ritonavir. Inilah yang mendasari bahwa Rifampisin dapat membentuk ikatan dengan PXR (Ma, et.al., 2008).

Gambar 4. Implikasi klinis PXR

Implikasi klinis yang paling umum untuk aktivasi PXR adalah terjadinya interaksi obat-obat. Pengaturan multi terapi adalah alasan utama untuk mengatasi interaksi obat, terutama untuk pasien dengan tuberkulosis, kanker, HIV, penyakit jantung, dan diabetes. Identifikasi PXR membantu mengungkapkan mekanisme molekuler terjadinya interaksi obat. Ketika dua atau lebih obat digabungkan, dan satu adalah ligan PXR, dan yang lainnya adalah substrat dari gen target PXR yang mengkode enzim atau transporter, interaksi obat-obat dapat terjadi. Konsekuensi klinis interaksi obat dimediasi PXR umumnya menurunkan efikasi terapi dan, kadang-kadang meningkatkan toksisitas obat (Gambar 4) (Ma, et.al., 2008).


Gambar 5. Implikasi klinis Drug Interaction-mediated PXR

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa Rifampisin sebagai aktivator PXR dapat mempromosikan steatosis hepatik dengan meningkatkan ekspresi CD36 secara langsung ataupun tidak langsung melalui aktivasi PXR-dimediasi PPARγ.

Gambar 6. Mekanisme Rifampisin-PXR binding sehingga mengaktivasi CYP3A4 (Li, Tiangang, et.al., 2006)

Sebuah penjelasan yang mungkin tentang bagaimana rifampisin dapat menginduksi hepatotoksik adalah terkait efek meningkatnya CYP pada homeostasis kalsium . Ini juga mungkin terjadi melalui stres oksidan, sehingga terjadi peningkatan peroksidasi lipid. Dalam kasus ketika rifampisin dan isoniazid yang digunakan bersama-sama, rifampisin dapat meningkatkan toksisitas isoniazid, karena asetil-isoniazid dari isoniazid diubah menjadi hidrazin monoacetyl, yang dikatalisis oleh CYPs (Chen, J., et.al., 2006).
Obat anti TB kedua yang diduga juga akan mengakibatkan hepatotoksik adalah INH. Metabolisme utama INH adalah asetilasi oleh enzim n-asetiltransferase 2 (NAT2) dan CYP 2E1 dan menghasilkan hepatotoksin.

Gambar 7. Metabolisme Isoniazid

Hidrazin merupakan penyebab hepatotoksisitas pada penggunaan INH. Penelitian pada mikrosom liver tikus menunjukkan bahwa terbentuk radikal NO2 selama proses metabolisme hidrazin secara oksidasi, yang kemungkinan merupakan penyebab utama hepatotoksisitas. Penelitian menunjukkan bahwa ATDH lebih mudah terjadi dan dapat menjadi parah pada kelompok asetilator lambat. Pada asetilator lambat lebih banyak INH yang tertinggal untuk dihidrolisis langsung menjadi hidrazin serta terakumulasi sebagai asetil hidrazin yang berubah menjadi hidrazin (Tostmann, A., et.al., 2007).

Huang et al. mengatakan bahwa asetilator lambat memiliki potensi 2 kali lipat mengalami ATDH dibandingkan kelompok asetilator cepat. CYP2E1 c1/c1 genotip berhubungan dengan tingginya aktivitas CYP2E1 dan dapat merangsang produksi hepatotoksin yang lebih banyak. Penelitian menunjukkan bahwa INH dan Hidrazin dapat merangsang aktivitas CYP2E1. INH memiliki efek penghambatan aktivitas CYP1A2, 2A6, 2C19 dan 3A4. CYP1A2 diduga berfungsi sebagai detoksifikasi hidrazin. INH menyebabkan peningkatan ROS, perubahan tingkat enzim seperti Superoxide dismutase, Catalase, dan Glucose-6-Phosphate dehydrogenase. Mengubah tingkat Bcl-2/Bax, cytochrome-c translocation, aktivasi caspase, dan fragmentasi DNA yang dapat menyebabkan apoptosis. Peningkatan ROS dapat menyebabkan kerusakan sel hati (Fausto,  2006).

Gambar 8. Mekanisme pembentukan ROS yang dapat menyebabkan kerusakan sel hati (Fausto, 2006)

Ketika terjadi kerusakan sel (seperti kerusakan DNA), protein pro-apoptosis akan teraktivasi, yang akan mnyebabkan terjadinya MPTPs (Mitochondrion Permeability Transition Pores) akibatnya cytocrhome c (cyt c) yang terdapat didalam mitokondria dilepaskan ke sitosol. Dengan adanya cytosolic dATP(deoxyadenosine triphosphate) atau ATP, apoptotic protease activation factor (Apaf-1) bersama dengan cytosolic caspase 9, dATP dan cyt c, Apaf-1 dapat membentuk suatu apoptosome. Aktivasi caspase 9 kemudian mengaktifkan caspase 3 dan caspase 7. Caspase 3 yang telah diaktifkan dapat memberikan mekanisme umpan balik untuk aktivasi caspase 9. Caspase 3 dan caspase 7 merupakan protein yang mengeksekusi terjadinya proses apoptosis sel. Aktivasi dan inaktivasi diregulasi oleh beberapa protein, salah satunya protein Bcl2, yang merupakan protein anti-apoptosis sedangkan Bax merupakan protein pro-apoptosis (Ting, et al., 2005).

Gambar 9. Mekanisme apoptosis karena aktivasi caspase, Bcl-2/Bax, cytochrome-c translocation, dan fragmentasi DNA yang dapat menyebabkan apoptosis.

 
Gambar 10. Typical mitochondrion-mediated and caspase-dependent pathway

Nilai kritis yang dapat diambil sementara adalah kita perlu hati-hati dalam penggunaan obat anti TB khususnya untuk anak-anak karena adanya kemungkinan yang cukup kuat terjadinya hepatotoksik.

Daftar Pustaka

Chen, Jiezhong., dan Raymond, Kenneth., 2006, Roles of Rifampicin in Drug-Drug Interactions: Underlying Molecular Mechanisms Involving The Nuclear Pregnane X Receptor, Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobial, 5:3 p1-11.
Fausto, N.M.D, 2006, Cell Injury Death, Washington.

Li, Tiangang., dan Chiang, John Y. L., 2006, Rifampicin Induction Of CYP3A4 Requires Pregnane X Receptor Cross Talk With Hepatocyte Nuclear Factor 4 and Coactivators, and Suppression Of Small Heterodimer Partner Gene Expression, Drug Metabolism and Disposition, 34:756-764.

Ma, Xiaochao., Idle, Jeffrey R., dan Gonzalez, Frank J., 2008, The Pregnane X Receptor: From Bench to Bedside, PMC, 4(7): 895-908.

Russmann, Stefan., Kullak-Ublick, Gerd A., dan Grattagliano, Ignazio ., 2009, Current Concepts of Mechanisms in Drug-Induced Hepatotoxicity, Current Medicinal Chemistry, 16:3041-3053.

Sakuma, T., Kawasaki, Y., Jarukamjorn, K., and Nemotoa, N., 2009, Sex Differences of Drug-metabolizing Enzyme: FemalePredominant Expression of Human and Mouse CytochromeP450 3A Isoforms, .Journal of Health Science, 55(3) 325–33 7 (2009).

Smrati B., Rajeev M., Ranjana K., Chakrapani T., Anurag S., Ashutosh T., Sharad S., 2010Isoniazid-induced apoptosis in HepG2 cells: Generation of oxidative stress and Bcl-2 down-regulation, Toxicology Mechanisms and Methods, Vol. 20, No. 5 , P 242-251.

Ting, J. F., HAN, Li-Hui., CONG, Ri-Shan., LIANG, Jin., 2005, Caspase Family Proteases and Apoptosis, Acta Biochimica et Biophysica Sinic, 37(11): 719–727.

Tostmann, Alma., Boeree, Martin J., Aarnoutse, Rob E., Lange, Wiel C M de., Ven, Andre J A M van der., dan Dekhuijzen, Richard., 2007, Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity: Concise up-to-date review, Journal of Gastroenterology and Hepatology, 23:192-202.

8 responses

  1. Norhadijah Je | Reply

    Waaa,, panjang ya,,, :p
    Boleh laa minta dapus nyaa,,
    Klo boleh kasih saran,, bikin jg yg format pdf ny trus diupload, biar spt smcam ebook laa,, hehe,,,
    Terus update info2 ttg kefarmasian yaaa,,

    1. oke, akan kami akan meminta ke penulis dan mencantumkan dapusnya. ini ditulis oleh pak Liling Triyasmono S.Farm., Apt (Dosen Farmasi UNLAM)

      1. Norhadijah Je

        “Terjadinya reaksi alergi akibat hepatotoksik idiosinkrasi dikarakterisasi melalui munculnya gejala tertentu dan adanya reaksi imun seperti demam, ruam kulit, eosinofilia dan terbentuknya suatu antibodi” -> mengutip kalimat diatas
        Kmren ada seorang teman yg sedang demam bertanya,,
        krna demam dia minum pct dan as.mef.. Nah, tiba2 matanya bengkak apa itu termasuk reaksi alergi akibat hepatotolsik..

  2. sangat informatif..

  3. umiadya/ pekanbaru | Reply

    gimana ya.. cara praktis kalo mau buat penelitian untuk mendeteksi adanya DILI karena obat tertentu.makasih

    1. Jawaban untuk sdr Noorhadijah sepanjang pengetahuan saya berdasar literatur itu bukan reaksi alergi.karena belum ada laporan pct dan as mef dapat menyebabkan alergi..terjadinya mata bengkak dimungkinkan adanya kombinasi sesama obat AINS beda golongan yang memicu idionsikrasi..(hanya pada kasus tertentu pada populasi tertentu pula). demikian yang bisa saya jawab..terima kasih atas komennya..

      1. Jawaban untuk sdr umidaya…banyak jurnal internasional yang dapat dijadikan referensi bagaimana desain penelitian untuk DILI…bisa di http://www.pubmed.com..ato salah satu yg sy ketahui adalah dengan desain induksi hepatotoksik pada mencit selama 2 minggu kemudian diamati histopatologi hepar dan kimia klinik dari heparnya….biasanya (SGPT dan SGOTnya)..mungkin ini yang baru bisa sy jawab..terima kasih atas komennya

Leave a comment